"Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan! Tanah untuk Tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!”(Soekarno, “Djalannja Revolusi Kita”, Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1960)
Tak hanya sebagai negara maritim, Indonesia juga dikenal sebagai negara agraris karena sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian. Indonesia pun memiliki banyak sumber daya alam yang sangat penting dalam kacamata hukum karena berkaitan dengan hak kepemilikan, pengolahan atau pemanfaatan tanah. Karena itulah diperlukan sebuah sistem yang mengatur bagaimana masyarakat bisa memanfaatkan tanah dan sumber daya alam dengan sebaik-baiknya, tanpa menyebabkan timbulnya konflik kepentingan di masyarakat serta menjamin kepastian hukum bagi masyarakat. Atas dasar tersebut, Undang-undang No 5 Tahun 1960 diberlakukan.
Undang-undang ini secara resmi diberi nama Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang mengatur mengenai tentang hak-hak atas tanah, air, dan udara. Lebih lanjut, Undang-undang No 5 Tahun 1960 adalah penegasan bahwa penguasaan dan pemanfaatan atas tanah, air, dan udara harus dilakukan berdasarkan asas keadilan dan kemakmuran bagi pembangunan masyarakat yang adil dan makmur. Hal tersebut sejalan dengan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Namun dalam realitanya seringkali kepemilikan hak perseorangan atas tanah berhadapan dengan tembok “kepentingan umum” yang tidak jarang merugikan rakyat. Kata-kata tersebut membuat rakyat seolah tak berdaya dalam menghadapi pembebasan hak atas tanah baik yang dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan umum maupun yang dilakukan oleh swasta untuk kepentingan bisnisnya. Dalam prakteknya pembebasan tanah seringkali juga berujung pada ganti rugi yang dijanjikan oleh pemerintah atau swasta, namun tidak sedikit timbul masalah dengan adanya hal tersebut. Tanah yang tadinya menjadi lahan pertanian beralih fungsi menjadi bangunan yang pada akhirnya hanya menguntungkan investor saja.
Konflik agraria tidak terjadi begitu saja, konflik agraria yang terjadi memiliki banyak penyebab yaitu, seperti sewa tanah tidak sesuai perjanjian awal, surat tanah warga tidak pernah di kembalikan, lahan tidak sesuai dengan peruntukan yang awalnya ditanami rempah-rempah menjadi sawit, tanah warga justru diperjual belikan, tanah tidak pernah diberikan sampai sekarang, hal tersebut menyebabkan ketidak setujuan warga masyarakat yang suatu saat dapat meledak menjadi konflik yang lebih besar. Masyarakat akan mencoba mencari solusi dalam menghidupi keluarganya, kehidupan mereka begitu dinamis karena warga yang tadinya pemilik tanah berubah menjadi bukan pemilik tanah dan justru berubah menjadi buruh di tanah mereka sendiri.
Menurut pemikiran Karl Marx ”Karl Marx dalam Darsono (2009:168)”, manusia terbagi dalam dua kelompok yang saling betentangan kepentingannya, yaitu kelompok buruh atau pekerja dan kelompok pekerja dan kelompok pengusaha atau majikan. Majikan berusaha memperoleh keuntungan sebesar-besarnya melalui kerja upahan kaum buruh, sedangkan buruh ingin memperoleh upah yang relatif bisa memenuhi kebutuhan hidupnya baik kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder.
Konflik agraria terjadi dalam berbagai bidang seperti sosial, ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan, dalam tulisan ini akan lebih difokuskan kepermasalahan ekonomi masyarakat akibat adanya ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang dialihfungsikan dari lahan pertanian yang tadinya sebagai sumber penghidupan dan penghasilan masyarakat menjadi berubah, dimana letak perubahannya? Berada pada relasi agrarian dan produksi yang berubah dengan eksisnya unsur-unsur kapitalisme. Dimana adanya orang yang bekerja diantara tuan tanah dan buruh, serta adanya komoditas penawaran permainan harga.
“Peasant” menjadi satu penanda penting dalam menunjukkan proses perubahan corak produksi feodalisme yang telah berakhir menuju corak produksi yang kapitalistik. Perusahaan-perusahaan besar baik swasta maupun negeri, mengubah lahan pertanian menjadi proyek pembangunan dan pertambangan juga proyek infrastruktur yang hal itu merupakan dampak dari adanya campurtangan kapitalisme dalam penguasaan terhadap tanah, sehingga kian menyengsarakan rakyat.
Agrarian Reform / Land Reform merupakan sebuah jalan atau cara untuk menghancurkan ‘Pre-capitalist landed property’ dengan ketentuan struktur penguasa tanah yang adil dan menciptakan ekonomi pertanian tanah dan secara terus menerus akan membentuk ekonomi industry rakyat dengan melakukan pembaruan atas hukum agraria nasional, melakukan Penghapusan atas hak dan konsesi yang dimiliki oleh pihak asing, mengakhiri feodalisme secara berangsur-angsur, merombak penguasaan dan pemilikan tanah serta relasi hukum yang terkait dengan penguasaan tanah, adalah melakukan perencanaan persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air, kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sesuai kemampuan yang dimiliki.
Land reform harus benar-benar didudukkan sebagai alat untuk merombak kekuasaan dan pemilikan tanah agar berpihak kepada rakyat kecil, tidak semata menjadi alat untuk menggapai kepentingan politis tertentu. Kalau hal yang terakhir terjadi, maka suatu rezim tersebut tidak pernah benar-benar setia pada agenda land reform sejati, dan juga tidak benar-benar menempatkan kesejahteraan rakyat dan petani kecil sebagai tujuan politiknya, hanya sebuah kepalsuan belaka. Land Reform sendiri terdiri dari dua pendekatan dalam Refomasi Agraria yaitu, Land Reform dari atas dan Land Reform dari bawah.
Reformasi Agraria dapat menjadi jalan perubahan sosial dengan cara menyusun tata guna produksi dan tata guna lahan, tanah produktif digunakan sebagai lahan pertanian dan perkebunan, terdapat pula tanah-tanah yang digunakan segabai lahan pembangunan sehingga dalam hal ini rakyat tidak terdampak berat dalam perekonomiannya, karena mata pencahariannya tidak hilang akibat kapitalisasi lahan yang terjadi.
Realitanya di Indonesia reforma agraria belum berjalan dengan apa yang dicita-citakan untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat, karenamasih banyak pertarungan antara rakyat dengan kaum bermodal dalam perebutan tana, ketika rakyat berusaha mempertahankan tanahnya agar tidak digusur tetapi tetap saja kaum bermodal berhasil menggusurnya.
Sebagai contoh konflik agraria di Yogyakarta adalah,
1. Permasalahan proyek NYIA di kulon progo, yang menggusur lahan dan pemukimann warga.
2. Penggusuran pemukiman warga dengan alasan mempertahankan fenomena alam gumuk pasir.
3. Penggusuran warga dipoyudan yang dilakukan oleh TNI AD.
4. SG / PAG yang menimbulkan ketidakadilan.
5. Terdapat dualism hukum yaitu UU Agraria dan UU Kekhususan.
Dengan adanya permasalahan tersebut ladang pertanian warga, yg notabene sebagai pemasok lumbung pangan dialih fungsikan menjadi bandara, karena ladang pertanian hilang maka untuk sektor pangan mengalami kenaikan harga yang lambat laun akan terasa tinggi, karena harus dipasok dari luar daerah, hal ini juga berdampak pada kemiskinan, karena tidak warga yang tadinya berprofesi sebagai petani harus mencari pekerjaan lain. Terlebih lagi utk para petani tidak diberikan ruang untuk bekerja dan beralih profesi menjadi petugas bandara karena tidak memiliki skill. Efek dominonya akan terasa dalam jangka panjang. soal ganti kerugian yg tidak jelas dan tidak win win solution, merugikan warga, dan akan menambah masyarakat miskin didaerah konflik tersebut.