Langsung ke konten utama

Kita adalah buruh, Selama bukan Pemilik Modal

"Buruh lebih penting daripada modal dan harus mendapatkan perhatian yang lebih." ~Abraham Lincoln~

 Sejarah kita mencatat banyak kisah perjuangan perempuan di kancah perburuhan, di antaranya adalah Surastri Karma Trimurti, atau yang biasa disebut SK Trimurti, perempuan yang menjadi Menteri Perburuhan pertama pada kabinet Amir Syarifuddin (1947-1948). Sepak terjang Trimurti tak hanya terlihat di masa perjuangan merebut kemerdekaan. Namun usai proklamasi Indonesia pun, Trimurti makin aktif menjadi sosok berpengaruh di bidangnya.  Saat menjadi menteri, Trimurti aktif memperjuangkan UU perburuhan baru sebagai ganti UU perburuhan kolonial yang memberatkan pekerja.
Sebelum menduduki jabatan politik, Trimurti dikenal sebagai jurnalis yang vokal menyerukan semangat antipenjajahan dan antipenindasan. 

Nama S.K. Trimurti begitu melegenda dalam dunia jurnalisme Indonesia. Ia juga sosok yang hidup di tiga zaman, yaitu di era penjajahan Belanda, Jepang, dan pasca-kemerdekaan, integritasnya terbukti tidak bisa disuap oleh kekuasaan. Trimurti sempat menjalani bui, di masa lampau, karier para pemimpin bangsa memang kerap melompat dari penjara ke kabinet (beda dengan kini yang trend-nya justru melompat dari kabinet ke penjara).

Hubungan dengan guru  politiknya, Sukarno, renggang karena Trimurti mengkritik poligami yang dilakukan bung karno.  Ia juga dimasukkan dalam daftar hitam oleh Soeharto dari upacara peringatan kemerdekaan RI di istana negara usai terlibat dalam penandatanganan Petisi 50. Penandatangan petisi ini menyatakan bahwa Presiden telah menganggap dirinya sebagai pengejawantahan Pancasila, bahwa Soeharto menganggap setiap kritik terhadap dirinya sebagai kritik terhadap ideologi negara Pancasila. Soeharto menggunakan Pancasila sebagai alat untuk mengancam musuh-musuh politiknya.


Lompat beberapa dekade setelahnya, kita memiliki Marsinah. Meski mengingat sosok yang satu ini juga berarti membuat kita trenyuh atas apa yang ia alami, tetapi jelas kita tidak boleh lupa bahwa perempuan buruh pabrik PT Catur Putra Surya (CPS) Porong, Jawa Timur ini dianiaya dan dibunuh dengan sadis pada 1993 karena berdemonstrasi memperjuangkan kenaikan upah para pekerja. Kasus pembunuhan yang diduga penuh rekayasa itu adalah kisah tragis yang tak kunjung terungkap, pelaku yang membunuh buruh perempuan itupun belum diketahui. Trimurti dan Marsinah hanyalah dua nama dari dua sosok beda generasi, yang berjuang di bidang yang sama, meski cara dan takdir keduanya berbeda.  

Lewat sekian lama setelah perjuangan Trimurti dan Marsinah, tak pelak kita masih menghadapi segudang permasalahan. Buruh perempuan masih rentan mengalami ketidakadilan. Mulai dari jam kerja yang berlebihan, gaji yang tidak sesuai/tidak dibayarkan, kesulitan memperoleh cuti haid atau melahirkan, upah murah, hingga tidak ada upah lembur. Perlindungan hukum yang tidak memadai paling sering dialami buruh migran, perempuan indonesia yang menjadi buruh migran  belum mendapatkan jaminan perlindungan yang baik dari pemerintah. Banyak di antara mereka yang terancam hukuman berat, termasuk hukuman mati.


Nasib buruh perempuan, alami diskriminasi di seluruh sektor industri. Politik elektoral di Indonesia belum bisa menyelesaikan berbagai masalah perempuan. Lebih lanjut, perempuan juga masih dijadikan sebagai objek eksploitasi untuk meraih sensasionalitas dan komersialisme. Belum ada pula jaminan keamanan dan kenyamanan bagi perempuan untuk beraktivitas di ruang publik.

Tapi perjuangan untuk meperjuangkan hak-hak buruh perempuan tampaknya masih jauh karena masih banyak perusahaan yang menelantarkan hak-hak buruh-buruh perempuan mereka demi mengejar efisiensi dan efektivitas produksi perusahaan. Buruh perempuan selalu berada pada posisi yang lemah. UU Ketenagakerjaan Indonesia sebenarnya sudah cukup melindungi hak pekerja dan buruh perempuan Indonesia. Aturan tersebut dengan jelas mengatur jam kerja dan fasilitas untuk tenaga kerja perempuan serta menetapkan sanksi pidana dan denda bagi perusahaan yang tidak mengabulkan hak ini. Namun sayangnya, minimnya pengawasan dari pemerintah terkait perlindungan tenaga kerja perempuan membuat perusahaan melaksanakan peraturan ini dengan seenaknya.

Perlindungan terhadap buruh perempuan akan semakin terancam dengan rencana pemerintah untuk mengesahkan Undang Undang Cipta Kerja. Banyak pihak mengecam aturan yang diharapkan pemerintah dapat menarik lebih banyak investor masuk ke Indonesia karena berpotensi merugikan hak tenaga kerja, khususnya perempuan. Jika dalam UU Ketenagakerjaan Tahun 2003, pekerja perempuan yang tidak masuk kerja karena cuti haid tetap wajib dibayarkan upahnya, maka dalam draf Omnibus Law, hak ini tidak disebutkan secara eksplisit.

Satu celah lagi yang belum diakomodasi oleh UU yang baru tersebut adalah perlindungan buruh non formal. Tenaga kerja non formal seperti asisten rumah tangga, pekerjaan yang mayoritas dilakukan pekerja perempuan, tidak memiliki payung hukum untuk melindunginya. Hal ini membuat hak dan keselamatan kerja mereka menjadi bias pada pekerja sektor formal.
Permasalahan buruh perempuan memang bukan persoalan yang dapat selesai dalam sekejap. Solidaritas perlu terus dihidupkan untuk sebuah perjuangan bersama. Namun, demi mencapai pada hal semacam itu, pertama-tama kita harus membuka mata, menyingkirkan jauh-jauh ketidaktahuan yang membutakan mata, kita harus peka akan ketidakadilan, serta mengakui bahwa selama bukan pemilik kapital, kita pun adalah buruh, bahwa selama bukan pemilik modal, apa pun bidang pekerjaan yang dilakoni, kita adalah pekerja, kita itu adalah buruh.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Semua Orang Tua Mulia : Relasi Orang Tua dan Anak

"Sebelumnya aku tak merasa bahwa dunia ini jahat, tapi semua berubah setelah hidupku mulai tak beraturan." -Tokoh tania yang digunakan adalah fiksi, dan cerita dibawah hanya sebuah imajinasi penulis tentang permasalahan toxic parents. Namun isi dari tulisan ini menceritakan keluh kesah dari sebagian anak yang merasa bahwa terdapat ketidakadilan dan ketidaknyamanan dalam keluarganya sendiri- Cerita bermula dari kisah seorang anak bernama tania yang beberapa tahun belakangan memiliki pengalaman bagaimana agama serta budaya mengajarkannya untuk menghormati orang tua dalam keadaan apa pun. Tania merasa betapa besar trauma dan dampak merusak lain yang ia rasakan karena hal tersebut. apalagi baginya hal yang terjadi itu menjadi peristiwa traumatis untuknya. ----------**********----------  Semua orang akan berpikir aku gila, bukan karena nalar pikirku dan mentalku terganggu, aku belum gila saat ini, tidak tahu nanti, ketika aku s...

Aku punya dan aku bersamanya, Ayah.

"Seperti mentari yang bersinar dipagi hari, cahaya matanya takan hilang dikala sore datang." Aku sempat merasa tak mampu untuk menerima segala kemungkinan yang akan terjadi nanti. Sama sekali aku tak sekuat yang terlihat. Aku terpuruk, amat sangat terpuruk. Bukan tanpa sebab, namun menghasilkan akibat yang sangat tak terduga.  Yaa.. Sebelumnya perkenalkan, aku adalah gadis yang merindukan seseorang, aku ingin sedikit bercerita tentang kesedihan yang mungkin saja bukan hanya aku yang merasakan. Mungkin ada diantara kalian yang sama denganku. Merindukannya. Merindukan sosoknya yang penyayang dan penuh kejutan. Sudah pasti setiap anak perempuan yang terlahir di dunia memiliki sosok lelaki pertama yang dicintainya pertama kali. Siapakah dia? Ayah.  Tak bisa dipungkiri bahwa ayah juga mulai mengembangkan sifat lelaki yang akan lebih protektif alias melindungi. Tak jarang juga ia berlaku lebih diktator kepada anak perempuannya. Bukan tanpa s...