"Sebelumnya aku tak merasa bahwa dunia ini jahat, tapi semua berubah setelah hidupku mulai tak beraturan."
-Tokoh tania yang digunakan adalah fiksi, dan cerita dibawah hanya sebuah imajinasi penulis tentang permasalahan toxic parents. Namun isi dari tulisan ini menceritakan keluh kesah dari sebagian anak yang merasa bahwa terdapat ketidakadilan dan ketidaknyamanan dalam keluarganya sendiri-
Cerita bermula dari kisah seorang anak bernama tania yang beberapa tahun belakangan memiliki pengalaman bagaimana agama serta budaya mengajarkannya untuk menghormati orang tua dalam keadaan apa pun. Tania merasa betapa besar trauma dan dampak merusak lain yang ia rasakan karena hal tersebut. apalagi baginya hal yang terjadi itu menjadi peristiwa traumatis untuknya.
----------**********----------
Semua orang akan berpikir aku gila, bukan karena nalar pikirku dan mentalku terganggu, aku belum gila saat ini, tidak tahu nanti, ketika aku sudah tidak mampu lagi untuk menahan cerita yang terjadi. Hahaha cerita macam apa ini.
Apakah kalian mengenalku? Tidak. Baiklah mana mungkin kalian mengenalku, bahkan aku saja tidak mengenali diriku sendiri. Ah bodoh sekali! Apa pentingnya aku untukmu. Untuk keluargaku saja aku tak berarti.
Maaf, aku terlalu frontal berbicara, namun ini baru pembuka, kalian belum masuk dalam cerita yang sesungguhnya, kalian belum mengetahui klimaks dari apa yang aku ceritakan. Ku sarankan, kalian jangan lanjutkan membacanya. Karena kalian pasti akan menganggapku gila-segila-gilanya. Budaya dan ajaran agama yang selalu menempatkan orang tua di posisi mulia membuat luka-luka batin anak lama diabaikan.
Perkenalan namaku tania, aku hidup dari keluarga yang berkecukupan, itu kata orang. Tapi menurutku tidak, ya itulah yang aku rasakan. Saat aku duduk di bangku kelas 8 SMP, aku sempat melukai diri setelah berkonflik dengan ibuku. Ini bukan kali pertama aku melakukannya. Ada endapan emosi dan perkara yang tak terselesaikan sejak lama yang akhirnya membludak dan muncul dalam tindakan destruktif seperti yang kulakukan kala itu.
Menyakiti diri,
Aku merasa amat sangat tidak berharga. Perasaan itu kian bertambah ketika ibu menjelma sebagai perisak terbesar dalam hidupku. Kesedihan dan kemarahanku tidak membuatku ingin membalas perlakuan Ibu, tapi demi meluapkan hasrat emosiku, aku mulai menyakiti diriku sendiri, apalagi jika saat aku benar-benar hancur karena permasalahan yang ada. Barangkali orang tua juga butuh diingatkan, “Betapa berat beban yang diemban anakmu setelah kamu bersikap keras kepadanya, betapa besar trauma dan dampak merusak lain yang ia rasakan dan baru sadari ketika dewasa. Minta maaflah kepada mereka.” Sejujurnya, ingin ku luapkan semua kepada ibuku, tapi aku terlalu takut. Amat sangat takut.
Aku ini anak bungsu, katanya orang tua amat sayang kepada putri bungsunya, apalagi semua kakakku laki-laki, tapi aku merasa menjadi tuan putri ketika ayahku masih ada dahulu. Sekarang, aku acapkali berfikir apakah benar aku anak kandung ibuku. Ibuku menjadi amat sangat arogan dan pemarah ketika ayahku meninggal. Sebelumnya ia juga pemarah dan memarahiku, tapi ada sosok malaikat yang selalu melindungiku, ayah. Sekarang ayah sudah tiada. Siapa yang akan melindungiku jika kerap kali aku malah menyakiti diriku sendiri.
Kekerasan-kekerasan fisik dan verbal yang ku terima dari Ibu sejak ayahku meninggal bukanlah hal yang gampang hilang dari benakku. Bagi orang luar, perlakuan yang aku terima hanyalah hal sepele yang tidak perlu dipermasalahkan, apalagi sampai disebut sebagai peristiwa traumatis. Ini terjadi karena sebagian besar orang dari generasi terdahulu melumrahkan pola asuh yang melibatkan kekerasan. Lazimnya, alasan yang mereka pakai ialah, “Kamu segini aja cengeng. Dulu Mama lebih parah dikerasin sama Nenek.”
Aku paham bahwa semua orang pasti selalu mengamini bahwa orang tua adalah sosok yang harus dihormati dan dipatuhi. Lagu “Kasih Ibu” menjadi salah satu hafalan semua orang dan anak-anak segenerasi. I know, itu diajarkan selagi masih ditaman kanak-kanak. Seringkali semasa SD, guru selalu mengatakan, “Ingat, betapa besar perjuangan orang tua membesarkan kalian, betapa sering mereka berkorban, betapa banyak kenakalan yang kalian buat dan merepotkannya. Sayangi orang tua kalian, minta maaflah kepada mereka.” Kemudian, dalam hening dan redup, teman-teman bercucuran air mata. Bersikap konformis, tak terkecuali aku yang ikut bersusah payah untuk bisa menangis. Sepulang sekolah, akupun berupaya menjadi “anak manis”, berharap relasi dengan orang tua lebih hangat dan komunikatif.
Tapi harapan tinggal harapan. Siklus konflik kami berulang dan membesar hingga kini. Aku kerap kali merasa tidak didengar, tidak menemukan sosok teman dalam diri orang tua. Dan bila sesekali aku mengonfrontasi dan berargumen, balasannya hanya “Kalau dibilangin orang tua nurut, durhaka kamu nanti,” atau “Ibumu ini yang melahirkan kamu, mau ibu salah gimanapun ibu gak boleh dilawan. Kalo ibu lagi marahin kamu, kamu ga usah jawab!” jadi aku harus selalu pasrah setiap kali dimarahi ketika itu bukanlah kesalahan yang aku buat? Bu, bagimu aku sebenarnya apa.
Bila mengulas kembali pengalaman atau bagaimana agama serta budaya mengajarkan kita untuk menghormati orang tua dalam keadaan apa pun, aku merasa sedih. Sedih karena anak masih tetap dianggap minor. Kalau kata Jason Mraz dalam lagu “Love For a Child”, “It's probably because when you're young, it's OK to be easily ignored”. Aku sedih karena pemuliaan orang tua, adanya konsep durhaka, tabu membicarakan kesalahan orang tua, membuat luka-luka kami tidak diakui. Ketika anak-anak yang tinggal bersama toxic parents bersuara, mereka dianggap tidak bersyukur atas pemberian orang tua, tidak menghargai orang yang melahirkannya. Saya sedih karena ada orang-orang yang memakai pengalaman berelasi baik dengan orang tuanya dalam menghakimi pendapat anak-anak toxic parents.
Orang tua juga bisa salah. Barangkali orang tua juga butuh semacam retret di mana mereka diingatkan, “Betapa berat beban yang diemban anakmu setelah kamu bersikap keras kepadanya, betapa besar trauma dan dampak merusak lain yang ia rasakan dan baru sadari ketika dewasa. Minta maaflah kepada mereka.” Tetapi mungkin hanya sebagian kecil orang tua generasi terdahulu di sini yang pernah meminta maaf duluan kepada anaknya. Dan ya, itu bukan termasuk ibuku.
Seandainya pemuliaan orang tua tidak sebesar yang ada sekarang di sini, mungkin luka-luka anak bisa lebih cepat didapati dan disembuhkan sebelum menjadi makin parah. Seandainya orang tua mau berkomunikasi dan membuka diri terhadap kritik dan keluhan anak, menyetop mental plonco, barangkali imaji menjadi orang tua di kemudian hari akan lebih baik di benak si anak. Tak ada ketakutan menjadi bapak atau ibu karena takut mengulang sikap destruktif yang pernah diterima si anak dulu.
Aku sering merasa iri dengan teman seusiaku yang ketika jauh dari rumah, mereka exited saat libur sekolah untuk pulang. Tahukah kalian, aku ingin merasakan kerinduan itu, tapi apa boleh dikata. Aku bahkan malas untuk pulang dan aku selalu berdoa semoga kelak ketika aku dewasa, aku jauh dari orang tua. Ingin aku bertukar peran dengan mereka yang mendapatkan kasih sayang ibunya.
Seandainya sesekali hierarki orang tua-anak dikesampingkan dan diganti posisi sebagai teman, masalah kepercayaan yang memuncak saat anak dewasa bisa dihindari. Seandainya-seandainya ini masih mungkin terwujud, jika anak seangkatan dengan kami serta di bawah-bawah kami sadar, menjadi orang tua tidak melulu benar dan besar.
"Anak-anak yang dibesarkan dengan teriakan, dianggap lemah, dianggap tidak mampu, maka jangan salahkan mereka jika besok lusa mereka menganggap kita tidak penting. Pun sebaliknya, anak-anak yang dibesarkan dengan tidak peduli, tanpa kasih sayang, kita lebih asyik mengurus diri sendiri, maka jangan salahkan mereka jika besok lusa mereka juga tidak peduli dengan kita."
-Tere Liye-
Komentar
Posting Komentar