“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri” ~Ir. Soekarno
Jejaring sosial merupakan situs dimana setiap orang bisa membuat web page pribadi, kemudian terhubung dengan banyak orang untuk berbagi informasi dan berkomunikasi. Jika media tradisional menggunakan media cetak dan media broadcast, maka media sosial menggunakan internet. Tidak dapat dipungkiri bahwa Pengaruh cuitan di media sosial dapat menyebar secara cepat. Demikian cepatnya orang bisa mengakses media sosial mengakibatkan terjadinya fenomena besar terhadap arus informasi di Indonesia. Karena kecepatannya, media sosial juga mulai tampak menggantikan peranan media massa konvensional dalam menyebarkan berita-berita.
Namun yang ingin dibahas kali ini prihal tentang peran media yang digunakan sebagai media curhat, berdebat dan menghujat. Seperti yang kita ketahui belakangan ini bahwa terdapat istilah “Netizen Maha Benar” hal ini cukup menarik untuk di bicarakan apalagi diera politik seperti sekarang ini yang dimana argumen sangat berpengaruh dalam kehidupan berpolitik. Dapat kita asumsikan bahwa media sosial adalah lahan curhat, berdebat dan menghujat yang tidak akan ada habisnya. meskipun sudah jelas ada UU ITE yang mengaturnya. Undang Undang nomor 11 tahun 2008 atau UU ITE adalah UU yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. Diera sekarang ini akan lebih hits kalimat “Jarimu adalah Harimaumu” karena hanya dengan kejelian jari dalam menari diatas keyboard segala sesuatu akan sangat mungkin terjadi hanya dengan jari jemari yang menari.
Mengenai media sosial sebagai lahan curhat, Petinggi negara juga seringkali menggunakan media sosial untuk menceritakan kesenangan ataupun keluh kesahnya. Misalnya, Mantan Presiden SBY mengeluh dirinya selalu disalahkan beberapa pihak. Dalam salah satu cuitannya di akun Tiwtter ketua umum Partai Demokrat itu pada Februari 2016 mengungkapkan dirinya selalu dikambinghitamkan dari setiap permasalah yang dihadapi bangsa ini. Cuitan SBY ini dipicu pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution yang membandingkan investasi ekonomi era SBY dengan Jokowi.
“Hingga saat ini, “SBY & Pemerintahan SBY” masih sering dikambinghitamkan & disalahkan oleh pihak yang tengah berkuasa. *SBY* “. Tulis mantan Presiden RI ke-6 itu dalam akun Twitternya.
Cuitan Mantan Presiden SBY pun menjadi buruan para netizen yang sudah saya tuliskan diatas bahwa “Netizen Maha Benar” ada yang memberi dukungan kepada SBY terhadap konflik yang dialaminya, ada juga yang malah menjadikannya Meme sebagai lelucon, bahkan ada pula netizen yang menghujat SBY karena cuitan mantan presiden RI tersebut. Hal ini menjadi ruang yang membuat SBY bisa sama levelnya dengan seorang selebtweet. Sampai-sampai rakyat, dalam hal ini netizen, menilai bahwa bukan mantan presiden yang hadir ke lini masa mereka, melainkan seorang yang lain, semacam selebtweet, yang kebetulan pernah menjadi presiden.
Curhatan lainnya berasal dari Bapak Mahfud MD. Dalam salah satu cuitannya di twitter, Mahfud MD meminta maaf atas ribuan pesan tak terbalas yang masuk di Whatsapp, SMS, Twitter, dan media sosial lainnya terkait keputusan Jokowi memilih Ma’ruf Amin sebagai Cawapresnya.
“Sy minta maaf dan berterimakasih kpd masyarakat yang mengirim pesan/pertanyaan dan simpati kpd sy terkait keputusan pak Jkw memilih KH Makroef Amin sbg cawapresnya. Ada ribuan WA, SMS, Twitter dll. Sy minta maaf krn sy hanya bs membaca tanpa bs menjawab 1 persatu”. tulis Mantan Ketua MK periode 2008-2013 itu dalam cuitan twitternya.
Namun dengan keteguhan hatinya Bapak Mahfud MD melanjutkan tulisannya dengan menjelaskan bahwa keputusan Jokowi sudah sesuai dengan hak dan mekanisme konstitusional. Untuk itu, ia mengajak warganet untuk menerima segala keputusan Jokowi. Dan bapak Mahfud mengajak warganet untuk tetap berada dalam rumah NKRI. Mahfud berpesan agar warga Indonesia tetap mengikuti poros-poros konstitusional yang berlaku.
Dalam hal berdebat media tidak kalah penting peranannya karena dalam hal ini gejolak isu politik semakin dapat dirasakan oleh masyarakat dan para netizen yang haus akan berita politik di media sosial. Karena pada dasarnya perdebatan politik adalah hal yang lumrah dalam kehidupan politik indonesia dengan tujuan agar indonesia menjadi lebih baik. Dalam hal ini bisa kita kaitkan dengan debat politik yang terjadi di indonesia terkait pemilu 2019 dengan persaingan 2 paslon yang bersaing untuk dapat menjadi pemimpin negara indonesia dengan visi misi mereka masing-masing. Perdebatan antara kubu Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi terbilang sangat menarik perhatian masyarakat seluruh indonesia bahkan mungkin hingga mancanegara. Dengan argumen dari para pendukung mereka hingga visi misi mereka terhadap kemajuan bangsa indonesia.
Perdebatan hastag #Jokowi2Periode & #2019GantiPresiden yang ramai dari tahun 2018 hingga kini menjelang pemilu 2019 masih tetap eksis dengan berbagai macam kampanye yang dilakukan. Muncul berbagai perdebatan bahwa Calon presiden harus ulama, Calon presiden harus bisa membaca Al-Qur’an, Calon presiden harus bisa jadi imam, Calon presiden harus pro islam, Calon Presiden harus Pro Rakyat, Calon presiden harus bla bla bla bla…… Tidak akan ada habisnya perdebatan politik pemilu ini hingga pada masanya tiba dimana rakyat menentukan hak pilihnya dan kotak suara dihitung hingga terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden yang akan mengemban amanah untuk memimpin Indonesia dan menjadikan indonesia lebih baik kedepannya.
Banyak tersebar berbagai Isu politik yang memperdebatkan kelebihan-kelebihan maupun kekurangan-kekurangan para capres-cawapres dimedia sosial. Hingga tak sedikit pula akun2 para pendukung tiap kubu tersebut berseteru untuk memperdebatkan bahwa paslon dukungannya adalah yang terbaik. Mari kita berpikir secara jernih jangan selalu saja disulut dengan emosi. Ketika banyak terjadi perbedaan pandangan, perbedaan pilihan dan perbedaan argumen dalam menanggapi pemilu 2019 mendatang. Kita harus tetap tenang dan berpegang teguh pada pancasila sebagai dasar negara indonesia. bahwasanya dalam pancasila terdapat pada sila ke-3 yang berbunyi “Persatuan Indonesia”. Hal ini menjadi acuan bahwa Makna yang terkandung dalam Sila 3 Pancasila ialah memberikan rasa pengakuan dan menghormatan adanya perbedaan dalam masyarakat Indonesia. Mengutamakan secara penuh dan ikhlas atas kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan, dalam menyelasrakan dengan tujuan pembangunan nasional. untuk mewujudkan persatuan bangsa yang bebas dari segela bentuk konflik masyarakat.
Jadi meskipun terdapat perbedaan dalam pemilihan presiden mendatang ada baiknya persatuan indonesia tetap terjaga, siapapun presiden yang terpilih, tetaplah menjadi indonesia yang menjunjung nilai-nilai pancasila salah satunya ialah persatuan indonesia. Terlepas dari perdebatan yang meramaikan republik ini. Indonesia adalah negara kesatuan yang tujuannya juga menyatukan perbedaan bangsa begitupula perbedaan pendapat dan pilihan. Jadilah Masyarakat yang baik dengan tetap memilih dengan luber jurdil dan mendukung pemimpin yang terpilih nantinya. Jangan terbelenggu dengan fanatisme terhadap salah satu paslon. Tetapi berusahalah menerima hasil yang sesungguhnya. Hingga perdebatan indonesia juga mengarah pada kemajuan bangsa dan negara.
Pemaparan yang terakhir terkait dengan peran menghujat yang ada dalam media sosial sangat erat kaitannya dengan Netizen Maha Benar. Misalkan yang sedang ramai didunia politik adalah tanda pagar #JenderalKardus dan #JenderalBaper seiring memanasnya hubungan Partai Demokrat dan Partai Gerindra, Sikap saling sindir dan cerca berawal dari berangnya elite Partai Demokrat terhadap Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Wakil Sekretaris Jenderal Demokrat Andi Arief menyebut Prabowo sebagai jenderal kardus. Istilah “Jenderal Kardus” dimunculkan dalam cuitan emosional politikus Demokrat Andi Arief di akun Twitter:
“Prabowo lebih menghargai uang ketimbang perjuangan. Jendral kardus.” Tulis Politikus Andi Arief di akun Twitternya.
Kemudian dari kubu Gerindra, lewat Wakil Ketua Umum Arief Poyuono, yang kemudian menyebut Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai “Jenderal Baper”. Lontaran ini pun kemudian memicu tagar balasan tersendiri di media sosial.
“Kalau Prabowo jenderal kardus, Susilo Bambang Yudhoyono adalah jenderal baper,” kata Arief Pouyono.
Sikap saling sindir dan menghujat ini juga bisa dikatakan tidak pantas dilakukan oleh elit politik. Yang seharusnya menjadi contoh baik untuk rakyat indonesia. Dengan adanya #jenderalkardus dan #jenderalbaper yang meramaikan media sosial maka peran netizen sebagai komentator disini pun ikut andil dalam perannya sebagai netizen maha benar. Dengan ikut meramaikan tagar tersebut hingga menjadi hot news. Meskipun pada akhirnya Habiburokhman meminta sindiran jenderal kardus vs jenderal baper tidak diteruskan. Karena Andi Arief dan Arief Poyuono disebut telah bertemu dan menyelesaikan perkara ini.
“Soal kardus jangan digoreng-goreng terus, tidak baik juga etika maupun adab, Arief Poyuono dan Andi Arief sepertinya sudah ngopi dan bercanda lagi,” tegasnya.
Berbagai isu sosial yang menjadi beban masyarakat sering kali mendapatkan solusinya di media sosial. Tidak hanya melalui cuitan para pejabat negara tetapi bisa juga melalui media massa yang banyak terdapat dalam media sosial. Politisi punya tanggung jawab untuk memberikan edukasi politik, atau konten yang positif kepada generasi milenial melalui media sosial sehingga kesadaran politik yang terbangun adalah kesadaran politik yang positif. Jadi Sebagai Netizen yang Budiman. Pandai pandailah kalian menggunakan media sosial. Agar tetap dapat menjadi netizen yang maha benar.
Komentar
Posting Komentar